Kamis, 26 Februari 2015

KORUPSI SEHARI-HARI YANG KITA TEMUI

Ahad Ke-empat, 27 Maret 2011
Oleh : DR. Suherman Rosyidi

Rosulullah Muhammad SAW bersabda, “Teruslah kalian beramar makruf nahi munkar sampai kalian melihat 4 gejala yaitu rasa kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti dan dunia yang didahulukan dan kagumnya tiap-tiap orang terhadap pendapatnya sendiri. Sungguh di belakang kalian masih ada jaman yang panjang, orang yang berbuat benar dan sabar pada jaman seperti itu, seperti menggenggam bara, dia mendapat pahala 50 kali lipat dari pahala perbuatan sahabat Nabi”. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)

Jaman yang sudah ’diramalkan’ oleh rosulullah tersebut adalah yang kita temui hari ini. Dimana saat ini orang-orang benar-benar kagum dengan pendapatnya sendiri. Jika Allah menyatakan A, pendapat mereka menyatakan B, maka pendapat mereka sendiri yang didahulukan. Mereka cenderung memakai pertimbangannya sendiri dan menyatakan bahwa ajaran agama adalah tidak masuk akal, kuno dan deso. Mereka memiliki 1000 alasan untuk mengkukuhkan pendapat mereka sendiri. Salah satu contoh adalah tentang bunga bank yang haram. Karena hawa nafsu mereka masih ingin makan bunga, makan riba, maka mereka tidak mau meninggalkannya. Kagum dengan pendapatnya sendiri dan urusan dunia didahulukan. Alasan bahwa hubungan kami terlanjur baik, nasabah yang sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga hanya pelayananan bank konvensional sajalah yang memadai karena jaringannnya sudah menyeluruh. Sedang jaringan Bank Syariah masih belum memadai. Begitulah mereka, sangat mengagumi pendapat mereka sendiri dan melupakan peraturan Allah.

Itu alasan orang-orang seperti kita yang masih rajin ibadah, rajin sholat. Bagaimana dengan yang tidak sholat? Mereka akan mengatakan, bahwa sholat itu tidak penting, yang penting hatinya. Ada yang beralasan seperti itu. Sholat itu kan kulitnya, isinya kan akhlak yang baik. Termasuk pernyataan mereka, “Jilbab itu apa?” Menurut mereka jilbab adalah kulitnya. Isinya sopan santun dan menjaga diri. Itu adalah kagumnya orang-orang terhadap pikirannya sendiri. Dunia didahulukan. Kikir yang diperturutkan, dan hawa nafsu yang diikuti.

Penutup hadits di atas adalah : “Sungguh di belakangmu masih ada jaman yang panjang. Pada jaman itu nanti berbuat sabar dalam berbuat baik, sabar dalam taat kepada Allah, sabar tetap berbuat kebajikan, seperti menggenggam bara. “Ora betah”, tidak tahan untuk tetap memegang, ingin melepaskannya. Orang yang tetap bertahan maka akan mendapat pahala lima puluh orang. Sahabat bertanya, “Lima puluh kali lipat pahala orang-orang jaman mereka atau lima puluh kali lipat pahala kami?” Jawab rosulullah, “Lima puluh kali lipat pahala sahabat nabi”. Padahal sahabat nabi adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang dicetak Allah untuk menemani nabi-Nya. Kecintaaan sahabat Nabi kepada Rosulullah tidak dapat diukur, kedekatan hati mereka dengan Rosulullah tidak ada hitungannya lagi.

Alangkah sedihnya kita, sejak jaman rosulullah sampai jaman sekarang, yang membentang ratusan generasi, sedemikian panjang, kok jatuhnya pada kita jamannya medit, keminter, merasa lebih pintar dari nabi, lebih pintar dari Allah. Orang-orang pada jaman kita ini ketika berdebat mereka sangat detil. Buktinya ketika mereka berdebat mereka berdebat habis-habisan, bahkan semalam suntuk. Karena kehati-hatian, mereka mendebatkan soal gerakan sholat. Debat tentang puasa. Apakah jelek? Tidak, selama ditujukan untuk mencari kebenaran. Mereka semua ingin benar. Itu urusan sholat, urusan puasa. Namun sedikit sekali kita berdebat sampai detil urusan harta, halal atau haram. Coba kalau kita berhati-hati dalam urusan harta. Coba kita berhati-hati urusan zakat. Itu kita temui sehari-hari. Jika saja kaum muslimin separuh saja berhati-hati masalah riba, bank konvensional akan remek bareng, ambruk. BNI, BCA, LIPPO, BRI, yang konvensional, bukan yang syariah. Mereka lebih suka larut dalam empat gejala tersebut. Merasa Allah tidak bisa memberi rejeki. “Lha terus bagaimana, siapa yang memberi rejeki anak istri saya?” Secara teori mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rejeki, namun tindakan mereka seperti tidak mengakui hal itu ..

Saat ini pemerintah sedang getol-getolnya berusaha memberantas korupsi. Dengan angka-angka yang dalam mimpipun mungkin belum pernah kita bayangkan, milyaran rupiah. Korupsi kelas kakap dengan aji-aji ‘Gayus”. Namun ada korupsi yang sama sekali belum tersentuh oleh pemerintah, korupsi yang mengenai kita secara langsung. Korupsi yang dilakukan oleh Gayus dan lainnya memang membebani negara, tapi tidak berpengaruh kepada kita sama sekali. Gaji kita dan kegiatan kita tidak terpengaruh sama sekali. Namun ada korupsi yang mengenai kita secara langsung, yaitu korupsi seribu, lima ribu, sepuluh ribu, korupsi kecil-kecilan. Mengurus surat ke kantor mana saja, setelah selesai kita menanyakan, “Terus, saya membayar berapa pak?” “Ya, terserah, seikhlasnya”. Ini korupsi. Sisa pembayaran parkir yang tidak dikembalikan, menyelipkan uang dalam antrian agar dapat pelayanan lebih cepat. Memang angkanya tidak besar, tapi itu adalah korupsi dan kita menjadi kurban secara langsung.

Termasuk ketika seorang pegawai kantor kehujanan, dia mencuci motornya dengan air yang ada di kantor tempat dia bekerja. Air itu adalah milik negara. Memang tidak ada kerugian berupa rupiah, tapi itu adalah mencuri. Itu termasuk korupsi, baik berupa uang atau tidak. “Tidak apa, khan hanya sedikit”. Itulah 2 dari 4 barometer yang diberikan rosulullah: kikir yang diperturutkan dan kagum dengan pendapatnya sendiri. Begitu pula ketika kita pergi ke pasar kita sering menjadi kurban takaran dan timbangan yang tidak tepat. Ketika membeli daging, tampak daging yang digantung dan airnya terus menerus menetes. Bisa saja itu adalah hewan kurban daging glonggong, yang sebelum disembelih dipaksa menelan air dalam jumlah yang sangat banyak, agar beratnya bertambah.

Saya tidak habis pikir mengapa kehati-hatian kita dalam urusan takaran dan timbangan seperti menjadi nomor 12. Belum pernah kita mendengar perdebatan yang tajam tentang hal semacam itu seperti ketika kita berdebat tentang bacaan Ushalli. Belum pernah kita mendiskusikan hal semacam itu sebagaimana ketika kita membahas gerakan sholat. Padahal, sesempurnanya sholat kita, tetapi jika harta kita tidak beres, berarti sholat kita belum menghasilkan apa-apa. Dalam Dalam tafsir Al-Misbach karya Quraisy Syihab disebutkan, ketika Allah menyebutkan sholat yang benar dikatakan aqimishsholata, menegakkan sholat. Ketika menyebutkan orang-orang yang sholat tidak benar, penyebutannya, yusholli, orang yang sholat, bukan orang yang menegakkan sholat. Celaka besar orang yang sholat, khusyuke ora mufakat, wiride 3 jam: .metu jedul, makan riba. Metu jedul makan sogokan, metu jedul, rundingan bab sogok-sogokan.

Apa yang kita lihat dari 4 barometer yang diberikan rosulullah? Orang yang nggragas, bagaimanapun uang dirasa manis, gurih dan menyenangkan. Dapat uang suap 10 - 20ribu, 100 - 200ribu digunakan untuk membeli sajadah. Padahal jelas uang pembelian sajadah tersebut haram. Adakah yang berani mengatakan dia sedang menyembah Allah? Sebenarnya, dia malah sedang melecehkan Allah. Sekarang banyak ditemui sogok yang dibungkus secara indah: hadiah, parcel atau ucapan terima kasih. Sebagai contoh orang yang memenangkan tender, kemudian dia datang memberikan amplop atau hadiah. Dia mengatakan ikhlas dan dia mengatakan tidak ada hubungannya dengan keputusan tender. Kedua-duanya jelas melakukan hal yang haram, hal yang gila, yang dosa. Mahasiswa mengirim uang untuk dosennya. Dosen atau petugas pembelian yang menerima komisi atas transaksi yang dilakukan. Hasil bunga bank yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Itu semua bukan haknya dan jika diterima, maka korupsi kecil sudah mulai dilakukan. Korupsi yang menyentuh keseharian kita secara langsung. Masih banyak korupsi-korupsi kecil dalam keseharian kita yang harus kita tinggalkan.

Hal yang sangat berlawanan terjadi di sini. Ketika kita diberi daging babi goreng yang meski sangat menarik, kita dengan jelas mengatakan tidak. Namun, ketika hal itu berwujud hadiah, komisi, ucapan terima kasih atau parcel, --yang sebenarnya diberikan terkait dengan tugas dan wewenang yang kita miliki-- seringkali kita langsung menerimanya. Alasan kita adalah karena itu rejeki yang datang menghampiri kita dan kita tidak memintanya.

Penjabaran selintas tentang ke empat barometer tersebut adalah sebagai berikut :
1. Rasa Kikir yang Diperturutkan
Tidak mau keluar uang meskipun sedikit. Lebih memilih menggunakan fasilitas kantor dan dalam skala kecil seperti mencuci motor pribadi di kantor dan dengan sendirinya tentu memakai air milik kantor.

2. Hawa Nafsu yang Dituruti
Ketika mereka ingin untuk memperoleh suatu keuntungan, mereka tidak begitu memperhatikan apakah hal tersebut boleh atau tidak, halal ataukah haram. Bagi mereka yang penting bagaimana agar mereka untung. Hal ini tampak dalam sikap sebagian besar kita dalam mensikapi bunga bank, dan uang sogokan untuk pelicin. Padahal sudah sangat jelas bahwa itu adalah haram.

3. Dunia yang Didahulukan
Adanya kemewahan yang sangat diimpikan, membuat manusia mudah lupa diri. Kematian kadang dilupakan, hari pembalasan sepertinya tidak ada. Yang paling penting saat ini adalah bagaimana mendapat sebanyak mungkin kesenangan dan kemewahan di dunia. Riba, mungkin iya. Tapi selama menguntungkan dan itu berarti termasuk rejeki juga. Begitu pendapat mereka.

4. Kagum Terhadap Pikirannya Sendiri
Pokok utama dari 4 barometer yang dikawatirkan rosulullah Muhammad SAW adalah pokok ke empat ini : Kagum terhadap Pikirannya Sendiri. Rasa kagum kepada pikirannya sendiri ini yang merupakan pengikat ketiga gejala yang sudah disebut terdahulu. Bahkan sebenarnya, keempat gejala ini mampir pasti muncul secara bersamaan. Ketika mendapat tugas membelikan motor untuk kantor dan mau menerima bonus helm dan jaket yang dipakai sendiri, sebenarnya ada unsur kikir di situ. Untuk apa diberikan ke kantor, jangan-jangan nanti malah dipakai oleh orang yang tidak tepat?! Unsur hawa nafsu muncul : bukankah karena aku yang berangkat ke toko, berarti aku yang lebih berhak?! Unsur dunia yang didahulukan hadir : jaket dan helm ini memang aku butuhkan!. Dan kemudian, dia tersenyum sendiri karena merasa alasannya untuk menjadikan jaket dan helm itu sebagai hak miliknya adalah tindakan yang tepat sekali. Dia benar-benar mengagumi kecemerlangan pikiran dan tindakannya.

Cara Mengantisipasi 4 Gejala : Mekanisme untuk Berkata, “Tidak!”

Kelemahan utama kita, kita tidak memiliki mekanisme untuk mengatakan “tidak”. Bisa ataukah tidak kita mengatakan tidak? Sebagai contoh di kantor saya karena perguruan tinggi sering ada pelatihan. Suatu ketika saat siang hari ketika ada pelatihan, seorang dosen lewat di depan meja prasmanan. Dosen tersebut bertanya kepada petugas yang berdiri di dekat meja tersebut, “Ada apa ini?” “Ada pelatihan pak”, jawab petugas tersebut dan disambung dengan penawaran, “Silahkan jika bapak akan mencicipi”. “Tidak”, jawab dosen tersebut pendek. “Mengapa pak? Persediaannya banyak, tidak mungkin semua ini akan habis”, desak petugas tersebut dengan ramah. Dosen tersebut tersenyum dan mengulang jawabannya, “Tidak”. “Apakah karena bapak sudah makan?”, kejar petugas tersebut. “Sebenarnya sih, ya belum”, sahut sang dosen. “Terus, mengapa bapak tidak makan dahulu?”, tanya si petugas penasaran. “Karena makanan ini bukan hak saya”, jawab sang dosen tersenyum dan berjalan pergi. Niat panitia pelaksana ketika menyiapkan semua makanan tersebut adalah untuk peserta pelatihan, bukan untuk selain itu. Termasuk bukan pula untuk sang dosen.

Usai melaksanakan sholat di masjid, seorang teman saya tertegun karena sandal miliknya tidak ada di tempat. Setelah ditunggu sampai jamaah yang di masjid sudah keluar semua, sandalnya tetap tidak ada. Yang tersisa hanya sepasang sandal yang selintas memang mirip dengan sandal miliknya. Dipandangnya sandal tersebut, namun kemudian dia bersiap pergi tanpa alas kaki. Temannya langsung berkomentar, “Pakai sajalah sandal itu, tentu itu punya orang yang mengambil sandal kamu”. Dia menggelengkan kepala dan mulai melangkah pergi. “He, sungguh memalukan jika engkau pergi tanpa alas kaki”, tegur temannya. “Bagi orang beriman, 1000 kali lebih mulia berjalan tanpa alas kaki, daripada menggunakan alas kaki orang lain dengan tanpa seijin pemiliknya”, jawabnya bersahaja.

K e s i m p u l a n
Marilah kita benar-benar berusaha untuk membangun kemampuan mekanisme untuk berkata ‘tidak’ dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa adanya keberanian semacam itu, maka kita akan mudah hanyut dalam dosa yang sudah ditampakkan seperti bukan dosa. Hanya dengan sikap teguh dan istiqomah dalam berbuat kebajikan dan tetap taat kepada Allah saja yang akan mampu menyelamatkan kita dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar