Rabu, 20 April 2011

MAULUD NABI dan TUGAS DAKWAH

Oleh : DR. Syamsuddin
Ahad Ke-dua, 13 Pebruari 2011
Materi ini berkenaan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dan kondisi mutakhir masyarakat Indonesia saat ini.  Kedua topik tersebut dapat dikompromikan, karena keduanya mengarah pada bagaimana upaya kita berusaha meneladani cara kepemimpinan Rosulullah Muhammad SAW.

Perlukah Memperingati Maulud Nabi ?
(Ingatlah) ketika pengikut-pengikut Isa berkata : “Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, ”Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman” (QS Al-Maidah : 112).  Jawaban Nabi Isa tersebut menyiratkan suatu keberatan.  Karena ketika suatu kaum meminta sesuatu yg aneh-aneh, biasanya mereka hanya bertujuan untuk memojokkan nabinya.  Hal itu telah terjadi pada umat Nabi Sholeh yang meminta agar beliau  mengeluarkan unta dari batu dan permohonan tersebut dikabulkan Allah.  Apa yang terjadi?  Umat beliau bahkan semakin kufur, sehingga Allah menimpakan siksa secara sempurna, hancur tanpa meninggalkan sisa.

Keberatan Nabi Isa dijawab kaumnya, “Kami ingin memakan hidangan itu supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu”. Kemudian Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi perayaan bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau: beri rezkilah kami, dan Engkaulah Pemberi Rezki Yang Paling Utama” (QS Al-Maidah 113 – 114).    

Pelajaran penting dari ayat tersebut adalah, jika dengan turunnya hidangan yang menakjubkan itu akan diperingati, tentu yang lebih dari hidangan semacam itu akan lebih patut untuk dikenang: lebih patut untuk diperingati.  Dalam beberapa ayat al-Quran disebutkan bahwa rosulullah Muhammad SAW ditafsirkan sebagai  dzikro, peringatan, anugerah atau hidangan yang diturunkan untuk memuaskan rohani manusia. Sedang maidah atau hidangan yang diturunkan pada jaman Nabi Isa lebih untuk memuaskan fisik manusia.

Dalam surat Ath-Thalaaq ayat akhir disebutkan, “Fattaqullooha yaa ulil albaab.  Alladzina aamanuu qod anzalalloohu ilaikum dzikro.  Rosuulaan yatluu ‘alaikum aayaatillaah... Memang ada sedikit perbedaan di antara mufassirin dalam mengartikan kata-kata dzikro di atas.  Secara harfiah terjemahannya adalah sebagai berikut : Bertaqwalah kalian hai orang-orang yang memiliki akal sehat, yaitu orang-orang yang beriman. Sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian dzikro/peringatan. Seorang Rasul yang membacakan kepada kalian  ayat-ayat Allah.
      
Ibnu Jarit Ath-thobari di dalam kitab tafsirnya mengatakan kata dzikro dalam ayat ini maksudnya adalah Muhammad bin Abdillah SAW.  Terbukti ayat berikutnya adalah rosulan. Jika demikian berarti Muhammad adalah hidangan yang dianugerahkan Allah kepada umat manusia akhir zaman.  Bukan untuk memuaskan fisik manusia, tetapi untuk memuaskan rohani manusia. Namun ada yang menafsirkan dzikro adalah Al-Qur’an. Terlepas dari adanya perbedaan tersebut, dalam kenyataannya rosulullah adalah anugerah besar bagi umat manusia. Karena beliau merupakan yang paling mulia di antara para nabi dan yang paling mulia di antara para rosul.

Mengapa Nabi Muhammad SAW disebut sebagai yang paling mulia di antara para nabi dan rosul?  Bukankah dalam akhir Surat Al-Baqoroh dikatakan, ‘Kita tidak boleh membeda-bedakan  seorang pun diantara rosul-rosul”?    Kedua hal itu tidak bertentangan, karena konteksnya memang berbeda. Dalam Surat Al-Baqoroh konteksnya adalah keimanan: kita beriman kepada semua rosul yang diturunkan Allah, tanpa kecuali. Tidak seperti umat Nabi Musa yang beriman kepada kerosulan Nabi Musa, tetapi tidak mengimani Nabi Muhammad SAW.  Demikian pula umat Nabi Isa yang hanya beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, tetapi tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW. 

Dalam salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan, “Tilkarrusuulu faddolna ba’dohum ‘ala ba’diin”  Itulah rosul-rosul sebagian di antara mereka kami lebihkan dari yang lain.  Termasuk pula ayat yang menyebutkan adanya ulul azmi minarrosul, yaitu Nabi-Nabi yang memiliki tekad besar yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan yang terakhir Muhammad SAW.  Itu adalah dalil naqli, yang mengukuhkan bahwa Nabi Muhammad adalah asrofil ambiyaai wal mursaliin, yang paling mulia di antara para nabi dan rosul.

Kedua adalah dalil aqli. Secara rasional Nabi Muhammad SAW memang paling mulia di antara para nabi dan rasul.  Mengapa?  Karena keberadaan beliau sebagai nabi akhir zaman. Itu derajat yang termulia. Tidak ada Nabi setelah beliau, entah Muhammad Musadek, Mirza Ghulam Ahmad, atau Maria Eden.  Ajaran beliau berbeda dari nabi-nabi sebelumnya.  Nabi-nabi terdahulu diutus untuk kaum tertentu, tempat dan lokalitas tertentu.  Tetapi  ajaran Nabi Muhammad SAW bersifat universal. Untuk semua manusia, lintas ras, suku, tempat dan abadi, yaitu berlaku sampai hari kiamat

Inilah yang menyebabkan kita mempunyai tanggung jawab moral untuk mengenang peristiwa dilahirkannya manusia besar, sosok manusia yang mengenyangkan rohani manusia. Namun tidak kita pungkiri ada kontroversial terhadap peringatan kelahiran beliau. Yang perlu diingat, untuk hal-hal diluar ibadah ada qoidah di kalangan ulama yang menyebutkan, segala sesuatu di luar ibadah boleh-boleh saja sampai ada dalil yang mengharamkannya.  Oleh sebab itu peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai produk budaya, memberikan kepada kita tanggung jawab untuk menjaganya agar tetap sesuai dengan niat dan motivasi kita.  Peringatan kelahiran beliau harus dijadikan media dan alat untuk mensyukuri nikmat Allah. Sebagai media untuk meningkatkan keimanan, ketaatan dan kualitas ruhani kira.
   
Sebagai ilustrasi adalah laporan jurnalistik tentang Umat Islam Jawa di Suriname.  Masyarakat disana sepertiga berasal dari etnis Jawa khususnya Jawa Tengah dan masih banyak yang bisa berbahasa Jawa ngoko.  Ada 2 produk budaya yang perlu diperhatikan. Pertama, kelompok Islam tua yang sholatnya menghadap barat.  Alasannya, ketika mereka masih di Jawa, mereka sholat menghadap barat. Meski kenyataannya Suriname terletak di sebelah barat Mekkah. Sedang kelompok Islam muda ketika mereka mengerjakan sholat sudah menghadap ke timur, ke arah ka’bah. Kedua, banyak kalangan muda menganggap takbiran sama dengan malam liburan dan sama dengan malam tahun baru.  Malam tahun baru identik dengan pesta pora, hura-hura dan minum minuman keras. Dengan demikian, itulah yang mereka lakukan dialun-alun saat malam takbiran.  Meski sebagian masih ada yang pergi ke masjid guna mengumandangkan takbir dan tahmid. 

Takbir adalah ajaran  agama, tetapi melaksanakan takbir adalah produk budaya.  Ketika produk budaya tidak dijaga, akibatnya takbiran yang seharusnya memahabesarkan Allah, berubah menjadi moment untuk pesta pora minuman keras.  Hal itu terjadi karena produk budaya yang dikaitkan dengan ajaran agama, namun kita tidak mampu menjaganya. Dengan demikian, Peringatan maulud Nabi menjadi sesuai ajaran Islam atau tidak bukan terletak pada wadahnya, tetapi tergantung pada isinya.

Sejarah Peringatan Maulud Nabi dan Tugas Dakwah
Pada jaman nabi Muhammad SAW, tidak ada peringatan Maulud Nabi.  Peringatan ini mulai ada pada masa dinasti Syiah sekte Ismailiyah yg berkuasa di Mesir, yang salah satu peninggalannya adalah Universitas al-Azhar di Kairo.  Setelah berganti dinasti lain yaitu ketika terjadi Perang Salib dirasa sangat penting untuk mengadakan peringatan Maulud Nabi.  Peringatan Maulud Nabi diadakan guna menyatukan umat, guna membangkitkan semangat jihad agar tetap menyala-nyala. Dengan peringatan Maulud Nabi, kita akan ingat lagi bahwa di pundak kita terletak tugas dakwah, amar ma’ruf nahi munkar.  Itulah konsekuensi dari rosul akhir zaman, itulah konsekuensi keimanan kita: tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar yang tidak pernah sirna.

Hadits Rosulullah SAW yang diriwatkan Muslim menyebutkan, man roo’a minkum mungkaron,  fayughoyyirhu biyadih. Failam yastatik fabillisani, failam yastik fabiqolbihi, wa dzaliki ataful iiman. Barang siapa melihat kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya.  Jika tidak bisa, rubahlah dengan lisannya.  Jika tidak  bisa, maka rubahlah dengan kolbunya dan ini adalah selemah-lemah iman.
 
Bagaimana jika seseorang membunuh lelaki yang selingkuh dengan istrinya? Jika seorang muslim membunuh sesama muslim, maka dia masuk neraka dan kekal di dalamnya, demikian disebutkan Al-Qur’an. Bukankah itu jihad?  Bukan! Yang perlu dipahami adalah tujuan perintah  untuk melaksanakan hukum adalah institusi negara, yaitu yang memiliki kekuatan memaksa, memiliki wewenang.  Bukan individu. Mengapa? Jika setiap individu berusaha melaksanakan sendiri-sendiri, maka yang terjadi bukan ketenangan, tetapi chaos, kekacauan.  Mereka yang tidak terima akan membalas dan akibatnya kedamaian semakin jauh dari harapan.

Pada jaman rosulullah ada kasus pencurian oleh anak kepala suku, namun suku tersebut malu jika menerapkan hukum potong tangan. Untuk itu mereka mencari jalan agar terhindar dari hukum potong tangan. Untuk itu mereka mencari keringanan kepada Rosulullah melalui Zaid bin Haritsah. Mendengar permintaan itu Rosulullah SAW tampak marah.  Jawab beliau, “Seandainya Fatimah binti muhammad mencuri, maka aku akan memotong tangannya”.  Beliau mengingatkan bahwa hancurnya kaum-kaum yang terdahulu adalah karena ketika para pembesarnya melakukan pelanggaran, mereka diam.  Tetapi jika yang melanggar adalah orang kecil hukum langsung ditegakkan.

Salah satu contoh untuk negara kita adalah penanganan kasus Gayus. Oleh sebab itu banyaknya musibah saat ini ada kaitannya dengan tidak ditegakkannya hukum. Hal ini selaras dengan perkataan Ibnu Taimiyyah yang menukil kata-kata Sayyidina Ali ra, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang menegakkan keadilan, walaupun milik orang kafir.  Dan Allah akan meruntuhkan negeri yang di situ tersebar kedholiman walaupun milik orang muslim”. 

Rosulullah SAW dalam menjalankan dakwahnya luar biasa. Tidak ada tebang pilih. Tidak ada kompromi ketika berbicara tentang hukum. Kepemimpinan beliau berlaku untuk semua, tanpa membedakan siapapun.  Tegas secara hukum, kasih sayang terhadap umatnya dan senantiasa memberikan pernyataan yang menyejukkan. Tidak memberikan statemen-statemen yang membuat masyarakat tidak tenang.  Hal seperti itu perlu ditiru dan dilakukan oleh para pemimpin negara kita agar ada kesatuan langkah dan pikiran antara yang memimpin dengan yang dipimpin.

Pesan dari Surat Al-Jumuah ayat 2, yaitu bahwa hanya pemimpin yang bersih yang akan mampu membersihkan.  Sama seperti hanya air yang suci yang dapat mensucikan.  Itulah kuncinya. Tanggung jawab pemimpin untuk membawa kehidupan yang bersih, yang suci yang akan membawa barokah dari Allah.

K e s i m p u l a n
Pemerintah mendapat mandat dari Allah agar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan menggunakan kekuasaannya.  Tanggung jawab cendikiawan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar melalui lisan dan penanya.  Sedang tanggung jawab kita adalah mengikuti yang ma’ruf dan menolak kemungkaran sesuai dengan kadar kemampuan kita. Jangan sampai kita terlibat di dalam kemungkaran.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar